Dalam sebuah perjalanan, saya berkesempatan mengunjungi suku Abui di desa Takpala, pulau Alor. Desa ini terletak 13 kilometer dari Kalabahi, ibukota kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Dataran tinggi ini berada di ketinggian 100 meter di atas permukaan laut. Wilayah itu dihuni oleh masyarakat etnis yang kuat budaya dan tradisinya.
Tempat berhawa sejuk ini adalah kampung tradisional Takpala tempat tinggal suku Abui. Tepatnya di Desa Lembur Barat, wilayah ini masuk Kecamatan Alor Tengah Utara dan dibawah pemerintahan Kabupaten Alor. Anda bisa menggunakan ojek motor atau menyewa taksi dari Bandara Mali-Alor untuk sampai di Takpala. Atau kalau dari Terminal Kalabahi, Anda bisa naik bus jurusan Bukapiting kemudian turun di Takalelang. Kampung tradisional ini sangat mudah di jangkau kareana sesampai di Takalelang akan terlihat spanduk penyambutan di depan jalan mendaki menuju Takpala.
Masyarakat etnis ini tinggal di desa Takpala mereka benar-benar masih sangat tradisional. Yaitu kelompok etnis di kepulauan Alor, Nusa Tenggara Timur, dimana suku Abui menjalani kehidupannya. Etnis terbesar di Kabupaten Alor ini tetap setia pada budaya dan tradisi mereka yang sudah berabad-abad lamanya. Dalam bahasa setempat, Abui berarti “Gunung”. Namun adat istiadat di Alor terasa lebih unik dari pada suku-suku kepulauan lain di Indonesia.
Sambutan Hangat Suku Abui Desa Takpala
Setibanya di sana penduduk setempat menyambut kami menggunakan tarian adat istiadat suku Abui disebut tari lego lego diiringi suara genderang Moko. Lego lego adalah tarian yang digunakan oleh masyarakat Alor untuk menandai peristiwa-peristiwa penting seperti perkawinan, kematian, perang, panen, dll. Hingga saat ini masyarakat Alor terus menggunakan tarian tradisional ini pada acara tersebut, tetapi mereka juga digunakan untuk menyambut wisatawan.
Memang, salah satu kekayaan budaya Alor berupa tarian adatnya. Sebuah kehormatan bagi kami, diizinkan untuk mewarnai pulau, disambut masyarakat suku Abui, pulau Alor dalam tarian tersebut. Mereka menari tanpa alas kaki sambil berpegangan satu sama lain membentuk satu lingkaran, bergerak ke kanan dan kiri sangat singkron dengan iringan suara pukulan genderang dan gemerincing gelang kaki. Tarian tersebut dilakukan sambil terus bergandengan, didominasi gerakan kaki yang bersinergi dengan pukulan gong. Hal itu disertai nyanyian dan pantun yang dilantunkan seraya bergerak mengelilingi pohon rindang.
Setelah menyelesaikan sesi pertama tarian mereka, suku Abui meminta kami untuk bergabung bersama mereka. Jadi tanpa berpikir panjang, saya terhanyut dalam genggaman tangan mereka dan mencoba untuk mempelajari gerakan tarian itu. Ya, saya sempat bergabung dalam lingkaran tari Lego-lego. Ketika saya bergabung, sempat terjadi dua kali pergantian pola gerakan kaki. Itu sangat menyenangkan!
Pada awalnya ritme gerakan bisa saya ikuti walau dengan susah payah juga, tetapi semakin lama ritme tarian semakin cepat dan semua penari hanyut dalam gerakan kaki masing-masing. Disebelah kanan saya bergerak ke kanan, sedangkan disebelah kiri saya bergerak ke kiri. Dan saya hanya pasrah. Tarian ini cukup menguras energi, menhimgat sebelum mencapai tempat ini kami harus berjalan menanjak terjal dari dermaga dilanjutkan harus naik anak tangga yang lumayan banyak. Tapi semuanya tergantikan oleh keramahan suku Abui.
Adat Istiadat Suku Abui dan Kerasnya Kehidupan Mereka
Kami datang ke desa Takpala dengan tujuan mendapatkan sekilas tentang kehidupan mereka sehari-hari. Tetapi sebaliknya, kita akhirnya menghabiskan beberapa jam bersama mereka. Bukan hanya karena masyarakatnya ini memiliki fitur budaya dan tradisi yang khas. Susunan rumah rumah adat suku Abui ini berada di atas serangkaian tangga pendek. Jumlah rumah di desa tersebar itu tinggal tersisa kurang lebih tiga belasan, diatur dalam satu baris.
Rumah adat suku Abui tersebut memiliki desain sangat unik, atapnya berbentuk piramida, tidak seperti rumah manapun yang pernah kita lihat. Desa Takpala terdiri dari tiga belas rumah tradisional terbuat dari kayu. Setiap rumah adat suku Abui terdiri dari empat tingkat, ruang bawah dengan geladak terbuka. Kemudian dalam atap jerami terdapat dua tingkat lagi, satu tempat tidur dan di atasnya ada area penyimpanan untuk jagung dan bahan pokok lainnya.
Apakah saya boleh masuk ke salah satu rumah adat itu? Ya, salah satu dari mereka sangat ramah memgajak saya masuk melalui tangga ke pintu depan. Tapi sayangnya interior dalam rumah sangat gelap dan berasap. Yang terlihat di balik dinding atap jerami itu adalah; keranjang jagung dan wadah bambu untuk menghidangkan sesuatu dan lempengan tanah liat untuk memasak. Dalam kehidupanya sehari-hari, suku Abui masih menyandarkan kebutuhan hidupnya dengan berburu menggunakan busur dan panah hingga saat ini.
Biktinya, ketika kami datang, kurang dari dua menit mereka langsung keluar membawa busur dan panah. Didukung adat istiadat suku Abui yang ramah ini memberikan waktunya untuk menjelaskan berbagai hal tentang apa yang bisa mereka terangkan. Bahkan sangat antusias memamerkan tradisi mereka kepada pengunjung desa Takpala. Termasuk perbedaan antara panah burung dan panah babi hutan. Sementara ia menunjukkan keterampilan berburu, seorang anak kecil menunjukkan unjung besi yang tajam dari salah satu panah burung. Dari semua ini memperlihatkan bahwa mereka tinggal di kehidupan jauh lebih sederhana daripada yang saya duga sebelumnya.
Pulau Alor dengan Adat Istiadat Suku Abui
Sebelum kami pulang, kami melihat anak kecil berdiri mambawa suvenir perhiasan buatan tangan mereka. Rupanya di desa Alor ada penampung kreativitas masyarakat setempat untuk membuat kerajinan khas mereka antara lain; gelang, kalung dan tenun. Meskipun tidak banyak, tapi desa ini menawarkan sesuatu yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Bisnis kerajinan ini juga dilakukan oleh masyarakat suku Abui di desa Traditional Takpala. Saya membeli sebuah gelang yang sangat bagus.
Penduduk setempat sangat ramah terhadap pengunjung; suku Abui sangat senang untuk menunjukkan kepada kita keindahan desa mereka, berbagi tradisi-tradisi desa Takpala dan mengambil foto bersama. Kita juga dapat kesempatan untuk berdandan, bergabung dalam tarian lego lego tadi, karena tarian itu dimulai sejak pagi hingga petang. Jadi kita punya cukup banyak waktu untuk mengambil gambar di sekitar desa. Dengan membayar lima puluh ribu Anda bisa menyewa pakaian tradisional untuk berfoto. Tentu akan sangat keren bila di Instagram kita punya pose foto berada di desa Takpala bersama dengan adat istiadat suku Abui.
Begitulah keramahan suku Abui di desa Takpala, ini merupakan kenangan paling istimewa. Mungkin akan sama seperti sisa pulau NTT yang lain. Sepertinya ingin kembali lagi kesana di waktu dekat dengan perjalanan secepat mungkin. Sekilas disana kita seperti kembali ke masa lalu kita sebagai homosapien sambil menjelajahi desa yang masih sama persis pada masa mereka hidup. Selain itu pulau Alor juga beruntung memiliki lautan menakjubkan, terumbu karang dan pantai. Yang mana di pantai itu kita bisa menikmati kuliner suku Abui ikan bakar dari hasil lautan pulau itu.
Apa yang paling saya sukai adalah anak-anak kecil, mereka tersenyum dan sangat polos seolah tanpa dosa, memang iya. Jadi inspirasi untuk melihat betapa sangat senang menjadi masyarakat dan gaya hidup sederhana dan keras. Ini sangat mengidetifikasikan bahwa manusia sebagai makluk budaya dalam memaparkan seluruh kehidupannya. Mereka sendiri hampir tidak ada karena dengan senang hati suku Abui membagikan semua yang mereka miliki. Kita harus belajar dari suku Abui.
Leave a Reply